Jogyakarta, CN – Peringatan 26 tahun reformasi (Jum’at 12 Juli 2024) kali ini menghadirkan berbagai kritik tajam terhadap kondisi Indonesia saat ini, mencerminkan perjalanan panjang yang masih penuh dengan tantangan. Acara ini diadakan dengan tema “Menyongsong Harapan, Menggugat Realitas: Refleksi 26 Tahun Reformasi” dan menampilkan sejumlah pemateri dari kalangan mahasiswa yang berani bersuara lantang.
Thomas Antoni salah satu Pengurus BEM Nusantara Di Advokasi Dan Gerakan Juga mengatakan diskusi di adakan di kampus UIN Sunan Kalijaga dan “Saya Kagum dengan Lokasi acara yang didekorasi dengan penuh penghormatan terhadap pahlawan bangsa, termasuk karangan bunga, replika kuburan pahlawan, dan foto-foto pahlawan yang berjajar sebagai bentuk penghormatan dan pengingat akan perjuangan mereka”.
Gunawan, Koordinator Forum BEM DIY, mengangkat isu revisi UU TNI-Polri dan dwifungsi militer yang dinilai mendesak. Ia juga menyoroti bagaimana pemerintahan saat ini kerap bertindak sewenang-wenang, mengingatkan pada era komunisme dengan kontrol yang ketat. “Kebijakan yang ugal-ugalan mengingatkan kita pada masa lalu yang kelam. Kekuatan rakyat ada pada mahasiswanya sendiri,” tegasnya, menyoroti disparitas yang terjadi antara rakyat dan mahasiswa.
Thoriq, Presiden Mahasiswa UIN Sunan Kalijaga Di Yogyakarta, berbicara tentang mahalnya biaya kuliah dan kemunduran demokrasi. Ia menyoroti bagaimana rektor-rektor universitas kini dianggap sebagai perpanjangan tangan rezim yang berkuasa. “Kuliah butuh uang, bukan hanya otak. Sistem kepartaian juga perlu pembenahan mendalam,” ujarnya.
Rafly Ilham dari Aliansi Pendidikan Gratis mengkritik apatisme dan bagaimana pendidikan saat ini menjadi alat negara dan organisasi keagamaan. Ia juga menyoroti kenaikan biaya kuliah yang tak terkendali dan reduksi aktivisme mahasiswa. “Kurikulum harus dibebaskan dari manufakturasi dan metode yang kaku. Pendidikan tidak boleh hanya menjadi alat pasar,” katanya, sambil menyerukan depolitisasi dan debirokratisasi mahasiswa.
Sirilus Maximilian, Koordinator BEM SI DIY, menekankan pentingnya empati dan keberpihakan terhadap rakyat Indonesia. “Empati terhadap bangsa dan rakyat harus menjadi landasan setiap kebijakan,” tegasnya.
Arya Dewi Prayetno, Koordinator BEM Nusantara, mengkritik kapitalisasi pendidikan dan retorika kosong seperti “Indonesia Emas 2024”. “Kita bosan dengan janji-janji kosong. Yang kita butuhkan adalah tindakan nyata untuk pendidikan dan ekonomi,” ujarnya. Ia juga menyoroti bagaimana kehidupan mahasiswa yang penuh dengan hedonisme dan apatisme, serta bagaimana kebebasan mereka kini dikriminalisasi.
Thomas Antoni, pengurus BEM Nusantara dalam bidang advokasi dan gerakan, menyimpulkan bahwa kritik-kritik yang disampaikan oleh para pembicara harus menjadi acuan dan bahan evaluasi bagi pemerintah. “Dengan adanya gerakan ini, pemerintah harus sigap dan cepat dalam menyelesaikan berbagai permasalahan yang ada,” harapnya.
Acara ini bukan sekadar peringatan, tetapi juga sebuah panggilan untuk perubahan yang lebih baik. Mahasiswa sebagai agen perubahan diharapkan terus berjuang dan tidak lelah menyuarakan kebenaran demi tercapainya Indonesia yang adil, makmur, dan demokratis.
(Team)